Tari Linda adalah salah satu tarian khas tradisi masyarakat di Kabupaten Muna, Provinsi Sulawesi Tenggara. Ader Laepe, dalam bukunya Sejarah dan Kebudayaan Muna mengatakan bahwa gerakan tari linda meniru gerakan burung wallet yang terbang mengibaskan sayap.
Pada mulanya, tari linda lahir dalam perjalanan Wa Ode Wakelu, Raja Muna ketiga belas menuju Ternate dalam rangka mencari suaminya La Ode Kadiri yang pada saat itu (tahun 1667-1668) sebagai Raja Muna XII nonaktif dan kedudukannya digantikan oleh permaisuri.
Raja Muna La Ode Kadiri di Ternate karena diasingkan oleh Belanda akibat menolak Belanda masuk ke wilayah Muna. Ia kembali menduduki jabatan sebagai raja pada periode kedua (1671) setelah dibebaskan oleh permaisurinya.
Dalam pelayaran di lautan teduh tersebut rombongan permaisuri Wa Ode Wakelu memperhatikan burung wallet yang terbang mengibaskan sayap di atas lautan teduh.
Kimi Batoa dalam bukunya Sejarah Kerajaan Daerah Muna menuliskan, Wa Ode Wakelu menemukan suaminya dalam keadaan sangat tersiksa, yakni terikat di bawah istana kerajaan Ternate dan diperlakukan tidak manusiawi. Ketersiksaan yang dialami oleh sang raja menjadi duka mendalam bagi seluruh masyarakat Muna. Sehingga di tengah pertunjukan tari linda tersebut salah seorang penari menyanyikan lagu Dio Lakadandio, yakni lagu bertema kesedihan mendalam.
La Mokui dalam Hidupkan Kembali Budaya Muna mencatat, tahun 1716 – 1757 Raja Muna XVI La Ode Huseini yang diberi gelar Omputo Sangia mengabadikan tari linda dalam sebuah upacara tradisi karia.
Karia merupakan pingitan yang wajib dijalani anak perempuan yang akan memasuki usia remaja di Muna. Karia dilaksanakan selama empat hari empat malam, dua hari dua malam, atau sehari semalam tergantung kesepakatan antara penyelenggara karia dengan tetua adat (pomantoto).
Dalam salah satu sesi tradisi tersebut terdapat pertujukan tari linda. Pertunjukkan tersebut adalah acara yang paling ditunggu-tunggu oleh penonton dan undangan yang hadir. Pertunjukan diiringi dengan alat musik tetabuhan yakni gong, gendang, dan ndengu-ndengu. Selama pertunjukkan penonton dapat menyawer penari dengan uang atau dengan jenis kado lainnya berupa pakaian atau perlengkapan wanita.
Tari linda juga merupakan simbol bahwa mereka yang telah mengikuti tradisi karia sudah mampu berkarya atau lebih mandiri dengan pendidikan yang diperoleh selama prosesi adat karia.
La Oba dalam bukunya Upacara Adat Kariya (pingitan) sebagai Tutura Masyarakat Muna mengatakan bahwa tari linda merupakan simbolik dari kelahiran kembali dan sebagai simbol kemenangan karena telah melewati prosesi karia yang sangat panjang.
Pada masa sekarang, tari linda hadir dengan berbagai kreasi gerakan tambahan tanpa mengurangi esensi tari itu sendiri. Tari kreasi tersebut biasanya menjadi pertunjukan bagi khalayak ramai sebagai tarian penyambutan tamu-tamu penting dalam berbagai kegiatan daerah, baik acara resmi pemerintah maupun pertunjukan yang secara umum diadakan oleh masyarakat dalam rangka meyarakan hari-hari besar nasional.
Oleh : Wa Ode Nur Iman